(Foto: gettyimages)
KEMENTRIAN Kesehatan RI pada 2010
mengungkap, ibu rumah tangga menempati jumlah terbanyak kasus AIDS
wanita Indonesia berdasarkan pekerjaan, yakni 1970 orang. Angka ini
bahkan lebih tinggi dibanding pekerja seks komersil (PSK) yang mencapai
604 orang.
Secara umum hingga September 2010 tercatat, 2753 kasus AIDS baru. Artinya, ibu rumah tangga memiliki porsi 71,5 persen dalam akumulasi kasus AIDS wanita Indonesia.
Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN), Dr Nafsiah Mboi SpA MPH menengarai penyebabnya adalah kurangnya keterbukaan di antara pasangan suami istri.
“Kalau di keluarga modern, di mana ada keterbukaan antara suami dan istri, sebelum menikah misalnya, dia sudah mengaku, ‘saya dulu pakai narkoba, sudah ada virus, jadi kita hubungan seks selalu pakai kondom ya’. Itu bisa, tapi sebagian besar enggak mau kasih tahu kalau dia terinfeksi,” paparnya pada Media Briefing “Pekan Kondom Nasional 2010” di Decanter Wine House Plaza Kuningan, Jakarta, Jumat (26/11/2010).
“Pada dasarnya, istri tidak pernah mempertanyakan suaminya. Jadi kalau suaminya 'jajan' di luar, dan terinfeksi, baik dengan sengaja maupun tidak sengaja, dia pulang membawa virus,” tambahnya.
Lebih lanjut Nafsiah memaparkan, upaya preventif dilakukan pada kedua belah pihak, baik suami maupun pekerja seks. Sebab di saat yang sama, istri pun butuh untuk melindungi diri.
“Jelas, wanita butuh melindungi diri, tapi sedikit sekali istri yang bisa memaksa suaminya untuk memakai kondom. Akhirnya, kita lakukan pendekatan melalui tempat penularannya, yakni tempat lokalisasi. Kita upayakan pemberdayaan pekerja seks. Dia bisa katakan, ‘Saya berhak sehat, saya tidak mau ditulari pelanggan, sebaliknya, saya tidak mau menulari pelanggan’,” ujar Nafsiah.
Sementara dari pihak suami, pendekatannya adalah melalui perusahaan tempat dia bekerja, seperti apa yang dilakukan Indonesian Business Coalition on AIDS (IBCA). IBCA didirikan oleh tujuh perusahaan multinasional dan nasional (Chevron IndoAsia, BP, Freeport, Unilever, Sinarmas, Gajah Tunggal, Sintesa Group) sebagai koalisi perusahaan yang melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja. Dampak HIV/AIDS sendiri bagi perusahaan adalah menurunkan produktivitas dan profitabilitas mereka.
“Kalau dia kuat imannya, jangan pergi ke tempat pelacuran. Kalau dia tidak kuat, ya harus pakai kondom, harus bertanggung jawab. Sehingga, kita melindungi ibu rumah tangga yang tidak tahu apa-apa di rumah. Banyak sekali suami yang tidak mau mengaku kepada istrinya. Itu pengalaman kami,” tukas Nafsiah.
Couple counseling
Sebagai tindakan solutif, couple counseling (VCT) atau memeriksakan bersama suami dan istri menjadi jawaban. Namun, seperti disayangkan Nafsiah, jumlah pasangan yang menjalani couple counseling masih sedikit sejak dimulai dua tahun lalu.
“Couple conseling, itu jalan keluarnya. Makanya, sekarang kami melatih banyak konselor dan untuk melakukan couple conseling. Bagaimana hidup pasutri di kemudian hari sebagai suami-istri tanpa saling menularkan virus,” terang Nafsiah.
Selain couple counseling, Nafsiah menimpali, upaya yang dilakukan adalah menghilangkan stigma dan diskriminasi yang melekat pada diri suami istri.
“Suami tidak mau mengaku kepada istrinya, juga sebaliknya, karena malu nantinya akan mendapat perlakuan diskriminatif dari pasangan maupun lingkungan sekitarnya,” kata Nafsiah.
Secara umum hingga September 2010 tercatat, 2753 kasus AIDS baru. Artinya, ibu rumah tangga memiliki porsi 71,5 persen dalam akumulasi kasus AIDS wanita Indonesia.
Sekretaris Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN), Dr Nafsiah Mboi SpA MPH menengarai penyebabnya adalah kurangnya keterbukaan di antara pasangan suami istri.
“Kalau di keluarga modern, di mana ada keterbukaan antara suami dan istri, sebelum menikah misalnya, dia sudah mengaku, ‘saya dulu pakai narkoba, sudah ada virus, jadi kita hubungan seks selalu pakai kondom ya’. Itu bisa, tapi sebagian besar enggak mau kasih tahu kalau dia terinfeksi,” paparnya pada Media Briefing “Pekan Kondom Nasional 2010” di Decanter Wine House Plaza Kuningan, Jakarta, Jumat (26/11/2010).
“Pada dasarnya, istri tidak pernah mempertanyakan suaminya. Jadi kalau suaminya 'jajan' di luar, dan terinfeksi, baik dengan sengaja maupun tidak sengaja, dia pulang membawa virus,” tambahnya.
Lebih lanjut Nafsiah memaparkan, upaya preventif dilakukan pada kedua belah pihak, baik suami maupun pekerja seks. Sebab di saat yang sama, istri pun butuh untuk melindungi diri.
“Jelas, wanita butuh melindungi diri, tapi sedikit sekali istri yang bisa memaksa suaminya untuk memakai kondom. Akhirnya, kita lakukan pendekatan melalui tempat penularannya, yakni tempat lokalisasi. Kita upayakan pemberdayaan pekerja seks. Dia bisa katakan, ‘Saya berhak sehat, saya tidak mau ditulari pelanggan, sebaliknya, saya tidak mau menulari pelanggan’,” ujar Nafsiah.
Sementara dari pihak suami, pendekatannya adalah melalui perusahaan tempat dia bekerja, seperti apa yang dilakukan Indonesian Business Coalition on AIDS (IBCA). IBCA didirikan oleh tujuh perusahaan multinasional dan nasional (Chevron IndoAsia, BP, Freeport, Unilever, Sinarmas, Gajah Tunggal, Sintesa Group) sebagai koalisi perusahaan yang melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja. Dampak HIV/AIDS sendiri bagi perusahaan adalah menurunkan produktivitas dan profitabilitas mereka.
“Kalau dia kuat imannya, jangan pergi ke tempat pelacuran. Kalau dia tidak kuat, ya harus pakai kondom, harus bertanggung jawab. Sehingga, kita melindungi ibu rumah tangga yang tidak tahu apa-apa di rumah. Banyak sekali suami yang tidak mau mengaku kepada istrinya. Itu pengalaman kami,” tukas Nafsiah.
Couple counseling
Sebagai tindakan solutif, couple counseling (VCT) atau memeriksakan bersama suami dan istri menjadi jawaban. Namun, seperti disayangkan Nafsiah, jumlah pasangan yang menjalani couple counseling masih sedikit sejak dimulai dua tahun lalu.
“Couple conseling, itu jalan keluarnya. Makanya, sekarang kami melatih banyak konselor dan untuk melakukan couple conseling. Bagaimana hidup pasutri di kemudian hari sebagai suami-istri tanpa saling menularkan virus,” terang Nafsiah.
Selain couple counseling, Nafsiah menimpali, upaya yang dilakukan adalah menghilangkan stigma dan diskriminasi yang melekat pada diri suami istri.
“Suami tidak mau mengaku kepada istrinya, juga sebaliknya, karena malu nantinya akan mendapat perlakuan diskriminatif dari pasangan maupun lingkungan sekitarnya,” kata Nafsiah.
sumber : http://lifestyle.okezone.com/read/2010/11/26/195/397422/dibanding-psk-ibu-rumah-tangga-lebih-banyak-kena-aids