1. Petrus (penembakan misterius)
Tapi dua butir peluru segera bersarang di tubuhnya. Satu di dada dan
satu di kepala. Tubuhnya lalu tumbang dan dibiarkan tergeletak di
pinggir jalan. Esok hari, bisik-bisik beredar di masyarakat. Dia adalah
Robert preman yang selama ini ditakuti, sampah masyarakat, bromocorah!
Mungkin nasib Bathi Mulyono masih lebih baik. Begitu mendengar dirinya
ikut menjadi target, dia segera melarikan diri hingga ke sejumlah negara
luar negeri seperti Malaysia dan Brunei Darussalam. Meninggalkan istri
dan anaknya yang baru lahir. Namun, Bathi dan anaknya yang kini berusia
25 tahun, Lita, telah bertemu kembali.
Tahun 1980-an. Ketika itu, ratusan residivis, khususnya di Jakarta dan
Jawa Tengah, mati ditembak. Pelakunya tak jelas dan tak pernah
tertangkap, karena itu muncul istilah "petrus", penembak misterius.
Tahun 1983 saja tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas
akibat luka tembakan. Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di antaranya 15
orang tewas ditembak. Tahun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di
antaranya tewas ditembak. Para korban Petrus sendiri saat ditemukan
masyarakat dalam kondisi tangan dan lehernya terikat. Kebanyakan korban
juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di
depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan dan kebun. Pola pengambilan
para korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput
aparat keamanan.
Kala itu, para pria bertato disergap ketakutan karena muncul
desas-desus, petrus mengincar lelaki bertato. Peristiwa penculikan dan
penembakan terhadap mereka yang diduga sebagai gali, preman, atau
residivis itu, belakangan, diakui Presiden Soeharto, sebagai inisiatif
dan atas perintahnya. "Ini sebagai shock therapy," kata Soeharto dalam
biografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya.
Mayat-mayat itu ketika masih hidup dianggap sebagai penjahat, preman,
bromocorah, para gali, dan kaum kecu yang dalam sejarah memang selalu
dipinggirkan, walau secara taktis juga sering dimanfaatkan. Pada saat
penembak misterius merajalela, para cendekiawan, politisi, dan pakar
hukum angkat bicara. Intinya, mereka menuding bahwa hukuman tanpa
pengadilan adalah kesalahan serius. Meski begitu, menurut Soeharto, “Dia
tidak mengerti masalah yang sebenarnya.” Mungkin tidak terlalu keliru
untuk menafsir bahwa yang dimaksud Soeharto sebagai orang yang mengerti
masalah sebenarnya adalah dirinya sendiri.
Sayang, petrus hanya berlaku untuk preman kelas teri, mereka yang
merampok karena lapar. Sayang, petrus tidak berlaku untuk preman
berdasi, mereka yang mencuri karena mereka rakus...
2. Sengkon dan Karta, Sebuah Ironi Keadilan
Lima tahun bukan waktu yang teramat pendek. Apalagi untuk dihabiskan di
dalam sebuah ruangan beku bernama penjara. Apalagi untuk sebuah
perbuatan yang tidak pernah dilakukannya. Tapi Sengkon dan Karta
mengalaminya. Kepada siapakah mereka harus mengadu, jika sebuah lembaga
bernama pemerintah tidak bisa lagi dipercaya? Sebab keadilan tidak
pernah berpihak kepada Sengkon, juga Karta, juga mereka yang lain, yang
bernama rakyat kecil.
Alkisah sebuah perampokan dan pembunuhan menimpa pasangan suami istri
Sulaiman-Siti Haya di Desa Bojongsari, Bekasi. Tahun 1974. Beberapa saat
kemudian polisi menciduk Sengkon dan Karta, dan menetapkan keduanya
sebagai tersangka.
Keduanya dituduh merampok dan membunuh pasangan Sulaiman-Siti Haya. Tak
merasa bersalah, Sengkon dan Karta semula menolak menandatangani berita
acara pemeriksaan. Tapi lantaran tak tahan menerima siksaan polisi,
keduanya lalu menyerah. Hakim Djurnetty Soetrisno lebih mempercayai
cerita polisi ketimbang bantahan kedua terdakwa. Maka pada Oktober 1977,
Sengkon divonis 12 tahun penjara, dan Karta 7 tahun. Putusan itu
dikuatkan Pengadilan Tinggi Jawa Barat.
Dalam dinginnya tembok penjara itulah mereka bertemu seorang penghuni
penjara bernama Genul, keponakan Sengkon, yang lebih dulu dibui lantaran
kasus pencurian. Di sinilah Genul membuka rahasia: dialah sebenarnya
pembunuh Sulaiman dan Siti!. Akhirnya, pada Oktober 1980, Gunel dijatuhi
hukuman 12 tahun penjara.
Meski begitu, hal tersebut tak lantas membuat mereka bisa bebas. Sebab
sebelumnya mereka tak mengajukan banding, sehingga vonis dinyatakan
telah berkekuatan hukum tetap. Untung ada Albert Hasibuan, pengacara dan
anggota dewan yang gigih memperjuangkan nasib mereka. Akhirnya, pada
Januari 1981, Ketua Mahkamah Agung (MA) Oemar Seno Adji memerintahkan
agar keduanya dibebaskan lewat jalur peninjauan kembali.
Berada di luar penjara tidak membuat nasib mereka membaik. Karta harus
menemui kenyataan pahit: keluarganya kocar-kacir entah ke mana. Dan
rumah dan tanah mereka yang seluas 6.000 meter persegi di Desa Cakung
Payangan, Bekasi, telah amblas untuk membiayai perkara mereka.
Sementara Sengkon harus dirawat di rumah sakit karena tuberkulosisnya
makin parah, sedangkan tanahnya yang selama ini ia andalkan untuk
menghidupi keluarga juga sudah ludes dijual. Tanah itu dijual istrinya
untuk menghidupi anak-anaknya dan membiayai dirinya saat diproses di
polisi dan pengadilan. Walau hanya menanggung beban seorang istri dan
tiga anak, Sengkon tidak mungkin meneruskan pekerjaannya sebagai petani,
karena sakit TBC terus merongrong dan terlalu banyak bekas luka di
badan akibat siksaan yang dideranya.
Sementara itu Sengkon dan Karta juga mengajukan tuntutan ganti rugi Rp
100 juta kepada lembaga peradilan yang salah memvonisnya. Namun Mahkamah
Agung menolak tuntutan tersebut dengan alasan Sengkon dan Karta tidak
pernah mengajukan permohonan kasasi atas putusan Pengadilan Negeri
Bekasi pada 1977. ‘Saya hanya tinggal berdoa agar cepat mati, karena
tidak ada biaya untuk hidup lagi’ kata Sengkon.
Lalu Tuhan berkuasa atas kehendaknya. Karta tewas dalam sebuah
kecelakaan, sedangkan Sengkon meninggal kemudian akibat sakit parahnya.
Di sanalah mereka dapat mengadu tentang nasibnya, hanya kepada Tuhan
(berbagai sumber)
.
3. Arie Hanggara
Ada yang bilang ibu kota lebih kejam daripada ibu tiri. Tapi ibu tiri
yang satu ini jauh lebih kejam. Arie Hanggara, bocah 7 tahun ini tewas
dianiaya orang tuanya sendiri. Peristiwa pada akhir November 1984 itu
tiba-tiba menyentakkan perhatian publik. Media massa menuliskannya
panjang-lebar. Sidang pengadilannya membeludak. Orang ingin tahu seperti
apa sosok kedua orang tua Ari: Machtino bin Eddiwan dan Santi binti
Cece. Bahkan rekonstruksi yang harus dilakukan suami-istri itu nyaris
gagal karena massa melampiaskan kemarahan kepada kedua pesakitan.
Arie tiba-tiba menjadi simbol dari anak-anak yang tertindas. Bahkan
sampai-sampai tim pengacara orang tua Arie mendapat teror dari
orang-orang yang tidak dikenal. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Nugroho Notosusanto sempat membuatkan patung Arie--meski akhirnya
dibatalkan--sebagai peringatan agar kasus serupa tak terulang di masa
mendatang.
Akibat himpitan beban ekonomi yang dialami oleh kedua orang tuanya,
ayahnya seorang pengangguran, dengan tiga orang anak, membuatnya gelap
mata. Akibatnya dia menjadi ringan tangan. Ketika suatu hari dituduh
mencuri uang maka Arie Hanggara dipukul dan disiksa hingga menemui ajal
di tangan orang yang seharusnya melindunginya.
Kisah bocah malang tersebut pernah diangkat ke layar lebar oleh
sutradara Frank Rorimpandey, dan dibintangi oleh Deddy Mizwar, Joice
Erna.
|